Senin, 01 Oktober 2012

Semakin Ikhlas Semakin Indah...........


Semakin Ikhlas Semakin Indah
Pernah merasakan ditinggal mati oleh orang2 yang kita cintai? bisa orang tua, pasangan hidup, anak, saudara atau siapa pun?
Apa yang anda rasakan? kesedihan yang tak berkesudahan atau merelakan orang yang kita cintai kembali ke Sang Pencipta? Rasa kehilangan itu, bersifat individual. Begitu juga dengan proses untuk kembali bangkit dari keterpurukan.  
Dalam kedukaan yang pekat ada satu situasi kritis di mana seseorang seperti berada di tepi jurang. Ada tiga pilihan di situ: diam, mundur, atau melompatinya.
Banyak orang memilih melompat dan berhasil karena kesadaran yang kuat bahwa hidup harus dilanjutkan. Untuk sampai pada keputusan itu, prosesnya bergantung pada pergulatan yang sangat personal dalam diri setiap orang. Yang bisa dikenali hanya pola, meski dukungan sangat dibutuhkan.
Namun diakui, teman dan anggota keluarga adalah faktor penting pada masa-masa seperti itu. Meski demikian, ketergantungan pada teman, sebagaimana pada anggota keluarga, ada batasnya. Semua orang sibuk, anak- anak kita juga sibuk. Hidup kita tidak boleh berhenti setelah pemakaman.
Kuncinya Menerima
Life must go on……….yang pulang tidak akan kembali. Kita harus  ikhlas, karena kita semua memang harus pulang. Tinggal waktunya saja. Pergulatan batin menuju ikhlas itu berlangsung cukup lama tergantung tekad kita
Kita harus segera sadar, untuk apa kita selalu berada dalam kondisi duka . kesedihan membuat kita meninggalkan orang orang yang mencintai kita, dan membuat mereka meninggalkan kita

Anakmu tanggung jawabmu


BERIKAN CONTOH YANG TERBAIK UNTUK ANAKMU

Karin kecil terlihat sedang duduk disamping makam kakeknya, menunggu dengan sabarnya, sementara sang ayah sibuk membersihkan makam sang kakek.
Gadis mungil  itu tiba tiba terlihat tersenyum menyambut kedatanganku. Lalu kulambaikan tangan sambil menyapanya “Hi Karin….. anak yang manis lagi periang itu kupeluk sesaat, kucoba mengajaknya bercanda agar lebih dekat denganku.
Setelah ku membaca doa ziarah kubur, kami mencoba bercengkrama dengan Karin. Ternyata karin anak yang suka bercerita. Dengan kepolosannya ia menumpahkan perasaannya….betapa ia merindukan ayahnya untuk menemaninya belajar, betapa ia menginginkan foto cantiknya menghiasi kamar dan Hanphone milik ayahnya, namun itu semua tidak ia dapatkan “ayah selalu sibuk memandangi foto kakek yang sudah meninggal, daripada menemaniku belajar. Foto kakek ada dimana mana tapi fotoku nggak pernah ada “ celotehnya.
Anak adalah peniru ulung. Sikap egois sang ayah ternyata dapat dengan mudah ditiru olah sang anak. Apa yang dilakukan oleh ayah, pasti suatu saat akan dilakukan oleh putra putrinya. Untuk itu hendaklah memberikan contoh tauladan yang baik untuk anak anak kita, agar meraka menjadi anak yang seperti kita harapkan,
Figur Ayah
Penting, setiap anak merasakan sosok figur ayah hadir di hati mereka. Mereka rindu belaian tangan kekar seorang ayah, mereka rindu suara tegas ayah, mereka butuh figur seorang ayah untuk jadi contoh teladan dalam bersikap.
Bila semua itu tak terpenuhi, bisa dipahami bila di kemudian hari anak-anak ini menjadi pribadi yang bermasalah. Bila keadaan bertambah parah, baru kita tersadar ada yang salah dari anak kita. Fatalnya, sebagian orangtua jarang mau mengakui kesalahan itu, selalu anak yang disalahkan. Padahal, sesungguhnya orangtualah yang membuat mereka menjadi pribadi yang bermasalah.
Ayah Pendidik
Tidak bisa disangkal bahwa kehilangan orang yang sangat kita cintai adalah suatu hal yang sangat menyedihkan namun demikian akal sehat kita tetap harus berfungsi dengan baik. Keimanan kitapun harus tetap dipertebal agar tidak mudah di pengaruhi oleh hal hal yang buruk. Kita harus berfikir real bahwa kita masih hidup didunia, masih ada kewajiban dunia yang harus lebih kita perhatikan, karena kita akan diminta pertanggungjawaban diakhirat nanti. Anak dan istri, orang tua bahkan lingkungan sekitar kita.
“Hai orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim [66]: 6).
Dalam suatu riwayat dikisahkan, seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). Dia bertanya, ”Hai Rasulullah, apakah hak-hak bagi anakku terhadap diriku?” Rasulullah SAW menjawab: ”Hendaklah engkau memberinya nama yang bagus, mendidiknya dengan baik, dan menempatkannya di tempat yang baik.”
Ayah Penuh Cinta
Betapa sering kita abaikan anak-anak yang dititipkan pada kita. Padahal, anak adalah amanah sekaligus anugerah terindah dari-Nya. Kita sering memposisikan anak sebagai milik kita sehingga kita bebas memperlakukan mereka.
Kata ‘mendidik dengan baik’ dari Hadits di atas mengandung pengertian perlakuan yang baik. Bukankah anak belajar dari perilaku kita? Bukankah anak akan belajar membenci bila kita sering mencelanya. Begitupun ia akan belajar mencintai bila kita mencintai dan menyayanginya.
Terkait dengan menyayangi anak, Rasulullah SAW berpesan: ”Barangsiapa mencium anaknya, Allah akan menuliskan untuknya satu kebajikan. Barangsiapa menggembirakan anaknya Allah akan menggembirakannya di hari kiamat kelak. Barangsiapa mengajarkan al-Qur’an kepada anaknya, maka kedua ibu bapaknya akan dipanggil untuk diberi dua pasang pakaian yang indah dan dari wajah mereka akan tampak bahwa mereka adalah penghuni surga.”
Siapa yang tidak tahu bahwa tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah sangat berat. Jadwal hidupnya sangat padat untuk berdakwah dan mengurus umat, tapi beliau masih tetap memperhatikan keluarganya. Cucu beliau, Hasan dan Husein tidak takut menaiki punggungnya untuk bermain. Rasulullah SAW juga tidak canggung bermain dengan anak-anak. Beliau biasa mencium anak perempuannya ketika masyarakat Quraisy sangat membenci memiliki anak perempuan.
Begitupun ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW, sering memberi pesan kepada putranya Hasan sebagai wujud cinta dan perhatiannya pada putranya. Simaklah pesannya:
“…dan kudapati engkau sebagai bagian diriku, malahan kudapati engkau sebagai keseluruhan diriku, sehingga kalau ada sesuatu menimpamu, maka hal itu pun menimpa diriku. Seandainya kematian datang kepadamu, maka hal itu juga datang kepadaku. Apa saja yang engkau derita juga menjadikan diriku menderita.”
Jikalau ikatan perasaan yang amat agung itu merupakan perasaan para ayah yang dicurahkan kepada anaknya, maka dengan sendirinya akan timbul rasa hormat dan bakti anak terhadap sang ayah. Ikatan agung inilah yang akhirnya melahirkan generasi-generasi rabbani, generasi terbaik sepanjang masa yang siap menyongsong kehidupan penuh rahmah.